Mungkin sudah 6 bulan terakhir ini gue dapet email dari quora yang topik pembahasannya adalah gaji. Ternyata banyak sekali yang tertarik untuk membahas gaji seseorang, bagaimana cara mendapatkannya dan bagaimana menghabiskannya.
Namun tak jarang orang-orang enggan menyebutkannya. Bahkan teman-teman di sekeliling pun anti membahas gaji. Ga sopan, privasi, ga perlu dibahas, gitu katanya. Well, gue sangat respect orang-orang yang keberatan menyebutkan atau membahas gaji mereka, toh itu kan hak mereka.
Walaupun sampai sekarang, gue masih suka bingung sama alasannya.
Sesungguhnya dari awal bekerja pun gue gak pernah mempermasalahkan hal terkait nominal gaji ini. Pertama kali dapet kontrak kerja untuk ditandatangani pun gue langsung menanyakan perihal isi kontrak beserta gaji dan benefitnya ke orang lain. Tidak ada yang ditutup-tutupi.
Sama halnya ketika ada yang bertanya berapa gaji gue, tanpa ragu gue langsung jawab seada-adanya. Barulah ketika gue mengetahui ada yang menjaga betul privasi mengenai gaji, gue mulai agak berhati-hati untuk membicarakan gaji.
Gue mulai mencoba mengutarakan hanya kisarannya aja, menjawab seperti “yaa di atas UMR lah, tapi dibawah 10 jt” atau sejenisnya. Padahal rentan itu tentu saja jauh, bisa saja gajinya 4,5jt atau bisa juga di angka 9,5jt. Jauh bgt kan?
Baiklah, langsung saja ke intinya.
Berapa gaji gue dan buat apa saja uang tersebut?
Gaji Pegawai Outsource BUMN
Agak disamar-samarkan biar nggak terlalu frontal walaupun kalian yang kenal gue secara personal akan dengan mudah menebaknya haha. Gaji pertama gue kerja di dunia profesional adalah Rp 5,25 juta di tahun 2018 sebagai pegawai outsource (pegawai kontrak).
Kecil? besar? itu kalian saja yang menilai. Bagi gue ini cukup, cukup untuk travelling ke Korea Selatan, cukup untuk biaya menikah dan cukup untuk menyisihkan dana darurat.
Tentunya setelah 1,5 tahun bekerja gue memutuskan untuk boleh diperpanjang kontraknya asal ada kenaikan gaji. Setelah negoisasi berhasil naiklah ke angka Rp 5,45 juta. Hahaha tolong jangan tertawakan skill negosiasi gue.
Dedikasi ini gue tunjukkan untuk mantan bos gue yang super baik hati. Berat rasanya untuk meninggalkan tim walau kenaikan gaji tidak sesuai harapan. Padahal, perusahaan yang sama di divisi lain pernah menawarkan kerjaan dengan gaji dan benefit yang lebih baik sebagai pegawai tetap.
Cuman nggak gue ambil, karena harus pisah tim.
Perencanaan Keuangan Gaji 5 juta-an
Lalu bagaimana cara pengelolaannya?
Tentunya sebelum membongkar pengeluaran gue, harus tau dulu konteksnya. Gue adalah anak rantau yang tinggal di Jakarta. Tidak ada keluarga, tidak punya kendaraan pribadi tapi punya cita-cita tinggi.
Pengeluaran terbesar adalah sewa kost, kisaran 1 jt – 2 jt. Kok kisaran? Iya, soalnya dalam 2,5 tahun gue kerja di Jakarta, gue udah 4x ganti kosan. Bukan hobi, cuman eksperimen.
Dua bulan pertama gue tinggal di Jakarta gue sewa kostan di benhil dengan harga 2 juta rupiah. Kost termahal yang gue inapi, karena dulu gak punya pilihan banyak. Fokus gue cuman bisa langsung dapet tempat tinggal. Jadi gue pillih yang available untuk langsung diinapi hari itu juga.
Selain menyesuaikan diri dengan dunia kerja, satu bulan pertama juga dihabiskan dengan mencari kamar kost potensial dengan biaya sewa lebih murah. Setelah pindah ke kost baru (masih di benhil juga) gue baru bisa bebenah dengan keuangan gue. Kost baru benhil ini biayanya Rp 1,45 jt/bulan dan bertahan hingga 1,5 tahun ke depan.
Jadi gini perincian biaya pengeluaran gue di Jakarta pas tahun 2018-2019:
- Sewa kost (termasuk laundry, AC, kamar mandi luar) Rp 1,45 juta/bulan
- Makanan dan jajan Rp 1,2 juta/bulan
- Transportasi (ojek online+metro) Rp 500 rb/bulan
- Pulsa Rp 100 rb/bulan
- Belanja bulanan Rp 250 rb/bulan
- Social life (biasanya buat pacaran) Rp 350 rb/bulan
- Investasi Rp 1,4 juta
Kalau mau didetailin lagi, investasi yang gue lakuin itu pembagiannya untuk dana darurat 500rb, dana pensiun 500rb dan sinking fund 400rb yang beda-beda goalsnya.
Terkadang biaya transportasi bisa lebih murah, di kisaran 300 – 350rb an karena ojek online lagi doyan banget ngasih promo. Terlebih lagi gue suka pulang pake metromini dan dikombinasi dengan jalan kaki, jadinya makin murah.
Biaya makan juga seringnya dikisaran 1 juta-an, karena di kantor sering banget rapat sampai kelewat jam makan siang. Alhasil, makan siang dibeliin kantor deh hehe. Selain itu, gue juga kerjanya sering ke proyek dan sering juga dapet makan siang.
Bukan Fokus Menghemat, tapi Tingkatkan Pendapatan
Di quarter 4 tahun 2019 gue mencoba untuk menekan biaya hidup. Gue sortir poin mana aja yang memungkinkan untuk ditekan dan dicarikan alternatif lebih murah.
Poin yang paling memungkinkan saat itu adalah biaya sewa kost. Hal ini juga didasari dari pengalaman temen kantor yang biaya sewa kostnya dimulai dari dari 500 rb/bulan, umumnya yang ngekost masih di sekitaran area kantor radius 10 KM di kisaran 1 jt/bln.
Gue merasa tertantang dan berusaha untuk tidak manja sama kehidupan. Kalau kata orang tua gue dulu, coba meurih untuk sementara dalam upaya bisa investasi lebih banyak. Inget kan yang gue bilang di awal? cita-cita gue tinggi.
Singkat cerita gue nemu kost-an yang pas di area mampang. Biayanya cuma 900 rb/bulan, belum termasuk laundry, tidak ada AC, kamar mandi dalam. Kalau dihitung-hitung, laundry di area situ sekitar 150rb-200rb/bulan. Di sekitar kost-an pun banyak warung makanan yang murah. Nasi padang aja ada yang 8-10rb.
Hidup gue lumayan indah, dalam bayangan gue. Sayangnya, setiap aksi ada konsekuensinya. Gue seneng di sana banyak warung makanan murah, banyak jajanan. Namun hal ini ngebuat gue jadi makin sering jajan yang gue ga perlu.
Kost mampang gue ini lokasinya agak jauh dibanding kost lama, jadi tarif ojek online pun lebih mahal. Ditambah, ojek online udah mulai jarang ngasih promo. Kalau mau murah, ya gue pulangnya harus rela untuk jalan kaki ke area transjakarta, nunggu dan berdiri sesak-sesakkan, lalu jalan kaki lagi sekitar 300 meter untuk bisa sampai ke kost-an.
Pulang-pulang biasanya udah berasa capek, dan berakhir jajan thai tea yang emang selalu gue lewatin pas jalan kaki.
Awalnya baik-baik saja, sampai akhirnya leher dan kulit gue gatel-gatel, ternyata gue kena herpes, kata dokter. Untung aja gue punya BPJS. Dokter tanya, apa gue baru aja pindah tempat? apa tempat gue berdebu?
Semua pertanyaan dokter gue jawab dengan satu kata, Iya. Gue teringat sama area kost yang memang masih dalam tahap pembangunan dan penuh dengan debu proyek yang mana sering gue sapu setiap pulang karena gemes aja koridor kost kotor. Dokter bilang ini bisa jadi karena airnya ga cocok, daerahnya ga bersih atau debu-debu itu lah yang membawa penyakit ini.
Masih di tahap sabar, gue melanjutkan tinggal di kost murah mampang ini. Musim hujan pun tiba, area kost jadi berasa lembab. Gak cuma sampai situ, ketika gue pulang kantor, gue lihat genangan air membanjiri kamar kost. Padahal gue tinggal di lantai 2.
Atap jebol!! Bisa-bisanya ini kost baru tapi plafondnya bocor, karpet dan kasur gue sudah pasti basah. Komplain sama pemiliknya udah gue lakukan berkali-kali sambil difoto semua bukti-buktinya. Sampai akhirnya gue memutuskan bilang untuk pindah dalam 2 minggu. Padahal gue belum dapat kosan baru. Gue gak sanggup lagi menahan semua stress yang menimpa dengan penghematan ini.
Dalam 2 minggu pun gue bergerilya untuk cari kost baru, kali ini di area kemang, Jakarta Selatan. Jauh lebih mahal. Biayanya Rp 1,7 jt/bln AC, kamar mandi dalam tapi belum termasuk laundry.
Namun di kost ini pun gue langgeng sampai 1 tahun kedepan, sampai akhirnya gue menikah dan tinggal bersama di tempat lain. Di sini pula dengan pemikiran yang damai, gue bisa lebih fokus untuk menghasilkan duit tambahan.
Jadi dari sini gue belajar, investasi ke tempat tinggal yang sering kita tempati itu juga penting dan mempengaruhi produktifitas. Kalau bisa balik ke masa lalu, gue akan merekomendasikan untuk fokus aja mendapatkan penghasilan baru bukan penghematan melebihi kemampuan.
Mungkin yang kita butuhkan adalah tempat yang nyaman. Biayanya memang lebih besar tapi kita pun bisa menghasilkan jauh lebih banyak yang pada akhirnya bisa mencapai tujuan awal yaitu investasi lebih besar.
Nah, kalau kamu gimana? berapa gajimu dan digunakan untuk apa saja?