Healing di Gunung Papandayan, Mendaki Tanpa Carrier

dua pendaki di gunung papandayan

It’s been a loooooooong time~ Akhirnya! Setelah sekian bulan pernama, bisa lagi merasakan pengalaman mendaki gunung. Kali ini mendaki di Gunung yang ada di Jawa Barat dengan ketinggian 2.665 mdpl, yaitu Gunung Papandayan.

Merupakan sebuah cita-cita sejak lulus kuliah untuk bisa melakukan pendakian ini, karena sebagai orang yang lahir dan tinggal di Jawa Barat pastinya nggak afdol dong ya udah melalang buana ke gunung-gunung di Indonesia tapi belum pernah ke explore gunung di Jawa Barat.

Berhubung gue udah sekitar 5 tahunan nggak naik gunung dan bisa dibilang nggak pernah olahraga juga, jadi gue harus realistis pendakian kali ini harus yang mudah tapi megah. Maka gunung pertama di Jawa Barat dan juga pertama setelah hiatus haruslah papandayan. Tidak terlalu tinggi, perjalanan hanya 3-4 jam, terakomodir dengan baik, dan yang paling penting, banyak pos warung dan toilet.

Cocok banget buat para pendaki pemula dan para pendaki hiatus.

Apakah gunung ini tidak ada minusnya? Tentu aja ada, yaitu harganya yang mahal. Bahkan dari setiap orang yang gue temuin selama pendakian ini pun mengakui bahwa Gunung Papandayan merupakan gunung yang luxury, gunung termahal di Jawa Barat. Mungkin se-jawa juga kali yaa.

Harga Tiket Masuk Gunung Papandayan

Mahal sih, tapi karena sudah dikelola dengan baik oleh TWA Papandayan ya jadi nggak heran sih. Fasilitasnya juga oke banget. Parkiran mobil super luas, toilet bersih, mushola besar, warung banyak dan juga ada toko rental dan guide pendakian.

Weekdays (Senin-Jumat):

  • Retribusi Rp 20.000
  • Parkir Mobil Rp 25.000
  • Parkir Motor Rp 12.000

Weekend (Sabtu-Minggu):

  • Retribusi Rp 30.000
  • Parkir Mobil Rp 30.000
  • Parkir Motor Rp 14.500

Catatan Perjalanan Pendakian Gunung Papandayan

Perjalanan di mulai dari Karawang Barat jam 06.00 pagi, melintasi tol cipularang menuju Garut. Menurut Google Maps, perjalanan kurang lebih akan ditempuh selama 4 jam! Wah ini sih lama di kendaraan ya.

Janjian sih jam 7 pagi, tapi disuruh santai terus sama Mas Eky. Jadi lah kami sampai jam 9.30 di basecamp hahaha.

Siapa Mas Eky? Oke gue ceritain, pendakian kali ini gue memutuskan untuk ikut open trip bareng papandayan.id, tentunya dengan beberapa alasan ini:

  • Nggak perlu bawa alat pendakian
  • Nambah temen
  • Ada guide
  • Ada yang masakin dan bawain makanan

Nyatanyaaaa, di pendakian kali ini cuma ada gue dan Kak Dape aja sebagai tamu. Wah ini sih open trip berasa private trip ya. Senangnyaaaa ketemu jasa travel yang tetap melakukan perjalanan walaupun hanya 1 orang tamu, jadi ga ada drama cancel-cancelan atau nambah harga hehe. Selama pendakian, gue ditemani oleh Mas Eky dan juga Mas Hapid.

Begitu tiba di basecamp cuacanya kurang mendukung, karena hujan terus, dikasih redanya cuma hitungan menit. Berhubung udah mulai siang, akhirnya kami memutuskan untuk gas aja lah takut sampai ke tempat ngecampnya terlalu sore.

“Nanti kalau cuaca mendukung dan aliran sungai nggak deras, kita akan melipir menuju kawah dulu, cakep bgt!” Kata Mas Eky

“Gas lah!” Sahut gue.

Trek awal dari parkiran basecamp berupa jalur aspal yang agak menanjak. Jalur ini terbagi dua yaitu untuk jalur orang dan juga jalur motor. Yup, kalau kamu mager bisa banget ke tempat ngecamp pake ojek. Tentunya nggak pakai motor bebek sendiri ya, mamang mamang ojek di sini pakai motor trail yang memang buat off-road.

Melihat Air Terjun di Gunung, Switzerland versi Jawa Barat

Beberapa meter kemudian, masih di jalur aspal, gue melipir ke kiri, menuju jalur persimpangan yang agak kabur. Persimpangan ini lah yang membedakan jalur normal ke pos 7 dan jalur melalui kawah gunung. Check point pertama sebelum kawah Gunung Papandayan adalah sungai dan air terjun kecil.

Suasananya serasa lagi ada di pegunungan swiss. Apalagi di tambah kabut kabut setelah hujan. Asli ini indah bangeeeet, rasanya ingin lama-lama di sini, tapi sayang sekali masih hujan rintik-rintik, takut masuk angin euy!

Makan buah berry di jalur pendakian papandayan

Di perjalanan, tepat di sebrang air terjun, kita ketemu sama buah berry liar yang bisa dimakan. Emang bisa dimakan tapi tentunya bukan makanan utama ya guys ya, tidak bisa menggantikan perbekalan yang kalian bawa. Ini sih sebagai ilmu aja just in case kita terdampar dan kehabisan makanan, begitu kamu lihat tanaman ini maka kamu bisa makan itu buah sebagai penggajal perut.

Suasana Mistis di Kawah Gunung Papandayan

Setelah berjalan sekitar 30 menitan, akhirnya gue sampai di kawah Gunung Papandayan. Check point kedua pendakian ini. Menurut kedua guide gue, warna kawah Gunung Papandayan ini lagi cantiiiik-cantiknya, hijau tosca. Sayangnya langit masih mendung, jadi full itu kawah ketutup kabut.

Kita cuma merasakan beberapa detik saja yang terang dan bisa melihat jelas indahnya kawah dan asap belerang yang tiada henti. Habis itu ya gelap lagi.

Seandainya bisa lebih lama cerahnya mungkin gue udah nyeduh teh hangat dulu nih di sini sambil deep talk. Jiahahaha.

kawah gunung papandayan ditutup kabut

Satu hal yang gue nggak nyangka banget adalah airnya tinggi! Jadi walaupun ini adalah sebuah kawah, tapi kita bisa banget nyemplungin kaki/tangan di air, yang pastinya nggak gue lakuin ya haha. Jadi begitu ada di sana, gue rasanya berada di pinggir pantai aja udah bukan di kawah gunung.

Buat lihat lebih jelasnya ada baiknya langsung nonton vlog gue di youtube kali ya 😉

Setelah puas merasakan film the mist di dunia nyata, gue dan rombongan lanjut lagi menuju pos 7 melalui jalur yang sama seperti menuju ke sini. Tapi begitu tiba di sungai, wah langsung pada bingung gimana nyebrangnya, karena aliran sungai mulai naik dan deras.

Kami terjebak!

Mas Eky dan Mas Hapid sibuk cari cara untuk bisa menyebrangi sungai. Mencari-cari batu dan memindahkannya untuk bisa dipijak. Gue asik memantau sambil menyemangati, sedangkan Kak Dape sibuk mendokumentasikan keadaan.

Sebuah kerjasama tim yang aduhai, kan?

Berhubung memang agak sulit untuk menghindari basah, akhirnya gue hajar ajalah itu air sungai, nggak apa-apa langsung nyemplung aja sepatu ke air. Daripada cari-cari pijakan batu licin yang beresiko kepleset. Alhasil sepatu gue nyemplung, sedangkan yang lain berhasil tetap kering melewati sungai dengan lincah.

Untungnya sepatu gue waterproof jadi ga takut basah deh HAHAHA. Namun sayangnya untuk Kak Dape, takdir berkata lain. Walau sudah lihai menyebrangi sungai, tapi tetap saja alas kakinya basah kena terpaan air yang mengakibatkan lemnya copot dan sepatunya nganga. Mau ngikik tapi suami sendiri.

Pemandian Air Panas di Jalur Gunung Papandayan

Trek perjalanan berikutnya jauh lebih mengasyikkan. Kami menulusuri berbagai macam warna sungai, mulai dari yang jernih, kemerahan, hijau dan putih. Di sini juga kami ngelewatin endapan batuan kapur / belerang yang katanya bagus buat kulit.

Bagian paling serunya adalah ada sungai kecil yang melintas dengan air panas. Ini juga berasal dari sumber air yang sama dengan air panas di basecamp papandayan. Bedanya cuma kalau di basecamp kita bisa berendam seluruh badan asalkan bayar, nah kalau di atas sini gratis tapi cuma bisa nyemplungin kaki aja 😛

Ngelewatin aliran ini pas lagi hujan hujannya tuh berasa nemu oasis di tengah gurun. Begitu tangan gue menyentuh air beuuh rasanya kayak kena air mendidih. Selang beberapa detik, baru kerasa nih nikmatnya air panas dan mulai bisa menghangatkan badan. Lama-lama jadi berasa rileks dan ingin lebih lama lagi di sini lalu berendam.

Tapi…

Tapi kapannya nyampenya kalau dikit-dikit berhenti lalu bersantai ya kan? Berhubung perut mulai lapar, jadinya langsung bergegas deh ke tujuan selanjutnya, yaitu pos 7.

Jajan dan Tidur Siang di Pos 7 Camp David

Di sini gue melihat setidaknya ada 3 warung yang bisa kita singgahi. Sebenernya kaki ini masih kuat melangkah, tapi apalah daya jajanan di warung memaksa kami untuk singgah.

Hujan semakin deras begitu kami sampai di pos 7, seraya mendukung untuk istirahat lebih lama. Daripada bengong, gue jajan gorengan dan milo hangat. Mungkin sekitar 45 menitan kita istirahat di sini, waktu yang cukup lama. Bahkan Kak Dape aja sempet tidur.

Takut jajan lebih banyak, akhirnya memutuskan untuk lanjut berangkat menuju tempat camp. Kami mulai berangkat lagi sekitar jam 14.00 WIB, masih ditemani hujan tipis-tipis.

Trek selanjutnya masih berupa bebatuan dengan jalur yang datar, lalu menyusuri tebing yang lumayan luas. Kata guide kami, dulunya bahkan di sini bisa dilewati oleh mobil. Jadi dulunya kawasan di Gunung Papandayan ini menjadi tempat persembunyian orang Belanda, dan untuk menuju tempat ngecamp, mereka biasa menggunakan mobil. Bahkan di area camp juga ada bangunan bekas tempat persembunyian mereka.

Asyik mendengarkan cerita sampai tiba-tiba kaget ngeliat ada jembatan di gunung! Wah ini pertama kalinya ngeliat jembatan proper dengan desain yang lebih mirip dengan yang ada di resto-resto. Seandainya nggak hujan mungkin akan lebih cantik untuk foto di sini.

Setelah melewati jembatan, gue ketemu lagi sama jalur motor yang sempet menghilang (karena kita lewat jalur kawah). Nah di sinilah mulai berasa perjalanan naik gunungnya.

Hujan Hujanan Menyusuri Hutan

Memasuki jalur hutan yang lebih gelap, tapi untungnya rintikan hujan jadi lebih nggak berasa karena kehalang pepohonan. Treknya berubah bebatuan dengan tanjakan yang agak curam dikit. Di sini kamu akan dihadapkan dua pilihan, jalur normal atau jalur curam yang ekstrim. Jalurnya mengingatkan gue sama pendakian Gunung Merbabu jalur suwanting, walaupun ini versi lebih easynya.

Tentu saja gue dan rombongan pilih jalur normal, wong mau nyantai healing kok hahaha.

Kaki mulai enggan melangkah, napas mulai tersengal, pikiran mulai mencari lokasi untuk bersandar. Baru dikasih nanjak dikit aja udah mulai keinget semua letih pas pendakian di gunung lainnya. Momen seperti ini gue manfaatkan untuk ngobrol kilas balik pengalaman pendakian masing-masing di jalur yang lebih ekstrim sambil dikit-dikit minta berhenti untuk di foto.

Plus untuk istirahat juga, karena ternyata raga sudah menua.

Akhirnya tak terasa sudah sampai juga di pos 9, Camp Ghoberhut. Sama seperti pos pos sebelumnya, di sini juga ada rentetan warung yang siap sedia menyediakan kebutuhan para pendaki. Mulai dari makanan, jajanan, sampai ke tali rafia juga ada.

Gue sampai di pos ini sekitar jam 3 sore, udah kesorean banget untuk makan siang. Perut rasanya udah meraung minta dikasih makan. Lalu nggak lama kami disajikan nasi ayam goreng lengkap dengan lalapan dan kerupuk.

Beuh. Nikmatnya.

Waktu sore dan malam kami diisi dengan bikin konten, leha-leha, bikin api unggun, bercengkrama dan tidur-tiduran. Sampai akhirnya kami bertemu sebuah kehebohan.

Awas Ketemu Bagas di Malam Hari

Hari semakin malam, sudah mulai bingung mau ngapain karena di luar hujan rintik-rintik, berkabut dan ya ga bisa ngapa-ngapain. Lagi asik-asik menata sleeping bag, tiba-tiba ada yang heboh banget di tenda lain. Sontak gue langsung keluar tenda untuk melihat keributan.

Tipikal orang Indonesia, kalau ada keributan berarti ada tontonan.

Ternyata, ada yang maling makanan sampai merusak tenda. Yah memang, bukan rahasia bagi para pendaki bahwa hal yang berharga selama pendakian dan rawan dicuri adalah logistik. Di Gunung Papandayan, sudah terkenal ada sekumpulan preman yang hobi banget nyamperin tenda pendaki di malam hari untuk maling.

Makhluk pendek berbadan gendut itu berani banget datengin para pendaki dan nggak mudah menyerah untuk bisa ngambil yang bukan haknya.

Namanya Bagas, nama panjanya babi ganas. Begitu sebutan para pendaki dan warga lokal kawasan Papandayan.

Kelakuannya bikin para pendaki berucap kasar “dasar babi!”

Tapi pastinya nggak ada yang tersinggung, karena mereka emang babi :””)

Alhasil guide gue bantuin para pendaki lain untuk bisa menghadapi Bagas. Mulai dari mengantisipasi kemalingan makanan dengan cara menggantungkannya di pohon sampai cara mengusir di Bagas. Tidur gue supeeerr ga tenang semalaman, karena Bagas terus-terusan balik dan lewatnya tepat di samping tenda gue!

Suaranya ngeganggu, tapi yang lebih ganggu adalah para pendaki yang teriak teriak ketemu bagas dan terus memaki. Wah asli, ini para pendaki kenapa ga tidur aja sih? haha.

Sewaktu subuh-subuh gue mau pipis, gue kaget ngeliat ada tenda dibangun tepat di depan warung. Pas gue cari tau, ternyata itu adalah tenda ibu-ibu yang takut diserang Bagas, jadi bener-bener tidur di depan warung, ngakak abis.

Mengejar Sunrise di Camp Ghoberhut

sunrise di goberhut papandayan pos 9

Setelah tidur yang teramat tidak nyenyak, gue memaksa diri untuk bangun dan keluar dari tenda karena denger orang-orang di luar pada ngomong “cerah woy cerah” baiklah jadi ada semangat dikit.

Ternyata ga cerah-cerah amat 🙁

Tapi oke lah, bisa ngeliat calon gunung yang akan didaki selanjutnya ehehe. Yuk yuk?

Untunya lokasi ngeliat sunrise ini cuman berjarak lima langkah dari tenda, jadi nggak ada penyesalan sama sekali untuk beranjak. Banyak juga yang foto-foto pake kamera profesional dan bahkan pakai drone.

pendaki di pos 9 papandayan

Sejujurnya senang banget bisa sarapan di atas gunung lagi, ditemani pemandangan indah dan diskusi hangat. Ingin berlama-lama nyantai di sini, lalu keingat perjalanan Garut-Karawang 4 jam. Abort mission. Sekitar jam 9 pagi, gue dan team langsung cus berangkat menuju tempat camp satunya, yang lebih ramai dikunjungi dan jauuuh lebih luas.

Bermain di Taman Bunga Abadi, Pos Pondok Saladah

Dibanding dibawakan bunga edelweis, gue lebih memilih untuk dibawa ke tempatnya tumbuh. Lebih romantis dan penuh perjuangan. Nah Pondok Saladah ini meruapakan salah satu tempat yang tepat untuk menunjukkan bunga yang disebut abadi tersebut.

Nggak heran banyak pendaki yang mau ngecamp di sini. Super luaaaas, penuh dengan edelweis, dekat dengan kawasan hutan mati, dan banyak pepohonan, tapi sayangnya kalau musim hujan tempat ini gampang banjir. Kan ga seru ya kalau tenda jadi becek.

Ohiya, di awal gue bilang bahwa pendakian Gunung Papandayan ini adalah pendakian santai tanpa membawa carrier, tapi mungkin orang bingung, kok gue tetep bawa carrier sih? Tak lain dan tak bukan, untuk konten! Hahaha. Biar kalau di foto lebih berasa mendakinya.

vlogger di savana edelweis gunung papandayan

Aslinya nggak banyak yang mau gue lakuin di sini, karena sudah cukup puas dengan apa yang gue dapat selama perjalanan. Cuman berhubung terus-terusan dihasut sama Mas Eky untuk menikmati tempat ini jadilah gue foto-foto ke sana kemari 😀

Tapi tetep nggak bisa lama-lama karena kepikiran terus perjalanan pulang Garut – Karawang 4 jam.

Perjalanan Pulang Membawa Teman

trek turun setelah hutan mati

Salah satu alasan ikut open trip adalah dapet teman baru, siapa tau kan bisa dijadiin temen buat diajak pendakian ke Gunung lainnya. Walaupun jadinya private trip, tapi siapa sangka gue ketemu sama Bila dan Eldi di pos 9. Kami sepakat untuk meneruskan perjalanan turun bersama.

Seru banget jadi ada temen ngobrol yang punya hobi sama. Belum juga sampai ke basecamp, kita udah ngejadwalin pendakian selanjutnya. Memang suka mengadi-ngadi ya kawula muda ini.

Sempat hapir terpisah di pos 7 karena Eldi dan Bila teracuni oleh Mas Eky buat mengunjungi area kawah, tapi kayaknya mereka lebih pingin jalan bareng kami hahahaha. Jadilah lanjut terus bareng ke basecamp.

Nggak terasa tiba-tiba sudah ketemu aja sama jalanan aspal, pertanda sebentar lagi akan ketemu parkiran basecamp dan pendakian Gunung Papandayan akan segera usai. Sudah saatnya kembali ke kota dan kerja keras bagai kuda biar bisa naik Gunung Everest!

Sampai jumpa di cerita selanjutnya~

jalur aspal menuju basecamp papandayan

insalamina

Sedang berusaha menggapai impian keliling dunia dengan kerja remote. Gue dengan senang hati mengizinkan kalian menggunakan gambar atau sebagian post yang gue tulis, tapi tolong backlink atau tulis sumbernya. Gracias

Recommended Articles

2 Comments

  1. Emang paling bahagia kalo mendaki gunung lalu sampai di atas mendapati cuaca yang cerah, terasa hilang semua lelah.

    Ini gunung pertama yang saya daki Mba, saya pernah daki tahun 90an, lalu mendaki lagi belum lama, ternyata jalurnya udah berubah drastis ya…….katanya berubah karena pernah erupsi

    1. Wah ada pendaki senior ehehe

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.