Akhirnyaaaaaaa naik gunung lagi! Sungguh excited sekali, sudah lama sekali tidak hiking ke gunung. Pendakian gunung pertama di tahun 2023 memutuskan untuk ke gunung tertinggi dan satu-satunya di Karawang, yaitu Gunung Sanggabuana.
Sempat galau dan ragu untuk naik gunung di Karawang ini, karena minimnya info dari pendaki lain di internet. Sekalinya ketemu, isinya tentang kemistisan di jalur pendakian. Hadeuh.
Memang sih, di gunung ini terkenal dengan spiritualnya. Selain karena banyak makam, di sana juga ada pancuran yang katanya bisa bikin kaya dan buang sial.
Khawatir dan penasaran jadi satu.
Walau sesungguhnya rasa ingin mendaki gunung dengan mudah (karena masih di kota yang sama) lebih kuat dibanding rasa kekhawatiran itu tadi. Ah sudahlah kita coba saja dulu datang ke sana, kita nilai situasinya nanti.
Akhirnya berangkatlah kami jam 11 siang.
Cara Menuju Gunung Sanggabuana
Perjalanan menuju basecamp Gunung Sanggabuana dari Karawang Barat membutuhkan waktu +- 1 jam 10 menit menggunakan motor. Yah sepanjang perjalanan sih lebih terasa panasnya Kota Karawang ya dibanding pemandangan hahaha.
Untuk menuju Gunung Sanggabuana, sayangnya tidak bisa menggunakan transportasi umum. Paling ya bisanya taksi atau ojek online saja.
Setelah melewati setengah perjalanan, kami mampir dulu ke warung untuk makan siang. Mumpung masih nemu warung makan, karena khawatir mendekati basecamp malah tidak menemukan warung makan.
Setelah itu kami melanjutkan perjalanan kembali.
Jalur menuju sana pun enak, jelas, dan bisa dilalui mudah dengan mobil ataupun motor. Hanya saja yang perlu diperhatikan adalah ketika sudah hampir tiba di titik yang ada di gmaps, perlu lihat kanan-kiri dengan seksama, sampai melihat plang menuju Gn. Sanggabuana.
Karena kalau tidak, akan bablas sampai ke jalanan yang entah kemana. Seperti kami. Jyahahaha. Kami sampai sekitar jam 12.40 di tempat parkir (basecamp) pendakian Gunung Sanggabuana.
Fasilitas di Tempat Parkir (Basecamp)
Seperti kebanyakan gunung lainnya, basecamp atau area tempat parkir ini adalah rumah warga yang disulap sedemikian rupa untuk bisa memenuhi kebutuhan para pendaki. Jumlahnya pun tidak hanya satu, jadi para pendaki bebas memilih tempat mana yang mau mereka pilih.
Gue pilih warung yang paling dekat dengan simpang ke jalur pendakian yang berada di sisi kanan jalan (dari arah Karawang).
Tempat parkir motornya berada di sebelah warung persis yang beratap, jadi nggak perlu khawatir kehujanan. Di dalamnya juga disediakan kamar mandi yang bersih dan tanpa pungut biaya tambahan.
Catatan Perjalanan di Gunung Sanggabuana
Di basecamp tadi sebenarnya gue agak menunggu-nunggu karena sambil cari informasi nih mengenai pendakian Gunung Sanggabuana. Ya secara, ini pertama kali dan info di internet tuh minim sekali.
Dari hasil percakapan, ternyata memang setiap harinya ada saja yang mendaki ke gunung ini, terutama di malam jumat dan malam sabtu. Mereka yang pergi ini kebanyakan bertujuan untuk ziarah dan tidak camping di gunung. Nggak cuma yang seumuran gue, tapi lansia dan anak kecil pun kerap kali naik gunung ini.
Menurut mamangnya pun, rata-rata pendakian ke puncak itu butuh waktu 6-8 jam jalan kaki. Waduh. Berarti memang benar info yang gue sempat baca, butuh 6 jam menuju puncak, padahal gunung ini terbilang pendek loh. Tingginya ‘hanya’ 1.291 mdpl.
Padahal saat itu sudah menjelang jam 1 siang, kalau gue yang baru mulai lagi naik gunung ini punya pace yang lambat, bisa-bisa gue baru sampai jam 9 malam! Waduch langsung keinget sama cerita mistisnya. Hii atut. Gimana rasanya tuh ya jalan malam di gunung yang di jalurnya harus ngelewatin kuburan…
Gue dan Kak Dape sepakat, kalau sampai pos 2 (sebelum tanjakan non stop) kami sudah capek atau sampainya kesorean. Maka kami akan ngecamp di pos 2 aja.
Tapi emang kami beruntung, orang di warung ngasih tau kalau ada jasa ojek yang bisa nganterin hingga pancuran kejayaan (alias pos 2). Soalnya memang itu area yang biasa dikunjungi oleh warga untuk ritual. Wah langsung gas kami memilih naik ojek!
Naik Ojek Melewati Pos Registrasi
Jasa ojek ini sebenarnya punya beberapa pilihan tujuan, yaitu pos registrasi, maparaji sakti dan pancuran kejayaan (pos 2). Tentu saja kami pilih yang paling ujung, kan tujuannya untuk menghemat waktu dan tenaga.
Ternyata memang naik ojek ini menjadi pilihan yang tepat, pas banget buat kami yang mulainya kesiangan dan juga masih insecure sama endurance diri ini yang udah lama gak naik gunung plus ga pernah olahraga wkwk.
Perkiraan waktu tempuh menuju pos 2 itu sekitar 2 jam jalan kaki, sedangkan kalau naik motor hanya sekitar 30 menit! Tapi jangan pernah coba-coba untuk bawa motor sendiri, jalur ini perlu keahlian khusus.
Kontur jalannya beragam banget mulai dari tanah, makadam, hingga jalan makadam yang batunya nongol-nongol nggak beraturan. Buseng dah kata gue mah, ini motor yang lewat dari bagus jadi rusak dah.
Coba tonton aja sendiri keseruan dan kesengsaraan gue naik ojek di Gunung Sanggabuana ini:
Asli pegeeeeel bener itu gue duduk di motor menahan agar tidak terpontang-panting. Mungkin tidak terlalu tergambarkan dengan jelas guncangannya karena kameranya ada fitur hyper smooth. Tapi yang jelas gue ngerasa senang dan lega banget bisa turun sebentar ketike melewati pos registrasi.
Akhirnya ini pantat gue bisa istirahat sejenak.
Untuk tiket masuknya sendiri cuma butuh Rp 10.000/orang.
Pos 2 Pancuran Kejayaan
Legaaaaaa banget rasanya akhirnya bisa turun juga dari motor. Pegel banget cooyyyy. Kami tiba jam 13.47 siang, dan akan mulai pendakian dari sini, di ketinggian 676 mdpl. Jadi perlu hiking dengan elevasi sekitar 600 mdpl hingga puncak.
Setelah melihat dan melalui trek dari tempat parkir ke sini sih asli harga Rp 50.000/orang itu murah banget! Apalagi dengan penghematan waktu yang kita dapat. Cuman ya asli ini gue badan udah sakit duluan sebelum mulai pendakian wkwk.
Gue memilih untuk istirahat bentar lah di pos 2 ini, sambil foto-foto, nge-vlog dan juga melihat papan biodiversitas yang ada di Gunung Sanggabuana.
Banyak banget fauna langka yang bisa kita temuin di sini, seperti owa jawa, elang jawa, macan tutul, dan lain-lain. Selama pendakian gue ngeliat antara lutung atau owa jawa dan juga burung antara julang emas atau elang jawa. Dengan keterbatasan gue mengenali satwa, ya jadi gue hanya bisa mengira-ngira saja.
Di sepanjang jalur gue paling sering ngeliat pelayar biasa dan pelaut biasa. Sebuah nama kupu-kupu yang gue pun baru tau pas melakukan pendakian ini.
Untungnya sih nggak ketemu macan tutul ya, lebih horor dibanding kuburan ini sih. Hii atut.
Pos 3 Pancuran Emas
Epicnya dari pos 2 tadi langsung dihadapkan dengan ‘tanjakan 2 jam’ untuk bisa menuju pos 3. Gue sempat penasaran, ini yang bilang 2 jam tuh siapa ya? Warga lokal yang suka bolak-balik, manusia pada umumnya yang jarang olahraga, atau trail runner? Kan ketiga kategori itu punya pace yang berbeda ya wkkw.
Baru mulai udah langsung overthinking.
Setelah melewati tanjakan 2 jam, jalurnya mulai datar dengan pepohonan yang rimbun. Nggak jauh dari situ akan ketemu dengan simpang ke air pancuran dan ke puncak. Di sini lah pos 3 itu berada.
Di pos 3 ini juga ada saung beratap, lalu nggak jauh dari pos 3 gue ketemu dengan bangunan yang di dalamnya ada makam. Selain di jalur, makam lainnya juga berada di puncak Sanggabuana. Totalnya ada 14 makam di jalur ini.
Gue nggak foto-foto makam yang ada di sana karena agak ragu juga sih, ini tuh boleh nggak sih di foto? Tapi terekam sih di vlog haha, jadi kalau pada kepo bisa silahkan nonton series pendakian Gunung Sanggabuana ya di yucubbb aku.
Puncak Sanggabuana 1.291 mdpl
Jalur dari pos 3 menuju puncak bisa dibilang lebih santai dan enak, pun menanjak tapi tidak securam pas awal. Kami tiba jam 17.24 sore, Alhamdulillah belum ketemu gelap sudah bisa mendirikan tenda.
Jika ditotal, maka pendakian ke puncak Sanggabuana kali ini membutuhkan waktu 30 menit naik ojek dan 3,5 jam hiking. Lumayan nggak nyangka ternyata termasuk cepat juga.
Padahal nggak tau aja dia, besok pagi pas turunnya memakan waktu yang jauh lebih lama dan menyiksa!
Ohiya, satu hal yang lumayan ngagetin juga adalah di puncak Sanggabuana ini bukan cuma ada warung, tapi ada perkampungan (?). Terdapat beberapa bangunan sederhana yang dijadikan rumah, bahkan kata penjaga warung pun, mereka yang di puncak ini memang tinggal di sini dan jarang sekali turun ke kaki gunung.
Waw ngalah-ngalahin warung Mbok Yem di Gunung Lawu ini mah.
Perjalanan Turun yang Menyiksa
Siapa sangka pendakian pertama di tahun 2023 ini memberikan pelajaran yang sungguh berharga dalam hidup gue. Tepatnya ketika melakukan perjalanan turun.
Beruntung gue melakukan ‘pemanasan’ naik gunung ini sebelum gue melakukan pendakian lain yang lebih tinggi dan lama, karena dengan begitu gue menyadari kalau sepatu gunung gue sudah tidak nyaman lagi digunakan.
Sepatunya lebih sempit dari sebelumnya, sehingga kuku jempol kaki gue tertekan selama pendakian turun. Awalnya gue pikir ini hal yang wajar karena gue udah jarang naik gunung, ternyata emang dasar kaki gue aja yang membesar.
Selama pendakian berkali-kali gue ngerasa sakit tak tertahankan, apalagi kalau nge-rem atau tertabrak batu. Beuuuuh sakitnya bukan main, rasanya langsung ‘tenggg’ ngilu pisan.
Perjalanan turun yang butuh waktu lebih lama ini terasa jauuuuuuuh lebih lama, bener-bener butuh ojek yang kemarin. Namun sayangnya nggak ada ojek yang lewat apalagi mangkal bahkan setelah melewati pos 2 sekalipun.
Beberapa kali menahan tangis, karena buat apa nangis tapi ya kok sakit ya? wkkwk. Hingga akhirnya gue lebih banyak jalan mundur ke belakang agar mengurangi rasa sakit. Seharusnya ketika sudah tau begini gue membuka sepatu dan menukarnya dengan sendal yang gue bawa. Ah dasar memang pelajaran itu baru bisa dipelajari pas udah jadi pengalaman haha.
Total perjalanan turun membutuhkan waktu 5 jam perjalanan, yang 3 jam lebih diantaranya diisi dengan meringis kesakitan.
Alhasil kuku kaki gue menghitam karena pendarahan dalam di jempol kaki. Lukanya ini pun awet di kaki gue sampai gue melakukan pendakian ke Gunung Annapurna, 4 bulan kemudian. Haduh ada-ada saja.